Suara rentetan letusan terdengar saling berlomba sesaat kami sekeluarga menginjakkan kaki dirumah sehabis pulang dari melaksanakan Sholat Idul Fitri berjamaah dimasjid. Hal ini sontak membuat kami segera berganti pakaian dan bergegas menuju asal suara letusan-letusan itu terdengar.Ya..pesta petasan tahun ini sudah dimulai, itu yang ada dibenak kami saat perjalanan menuju TKP.
Benar saja, masih sekitar beberapa ratus meter sebelum kami berhasil sampai dilokasi, asap putih terlihat jelas membumbung tinggi memburamkan senyum langit biru yang sedari tadi berusaha menyapa warga masyarakat Kadilobo-Gandok yang sedang menyongsong kemenangan setelah satu bulan melaksanakan ibadah puasa dibulan Ramadhan.
Asap putih bercampur bau pekat belerang terbakar, mengiringi suara letusan yang terus membuat irama layaknya suasana dalam adegan pertempuran dimedan perang dalam film-film kepatriotan.
Sesampainya dilokasi pesta petasan itu masih terus berlangsung, jalanan desa itu sudah nyaris tak terlihat karena tertutup rata oleh jutaan serpihan kertas sisa-sisa petasan yang sudah dinyalakan. Puluhan pemuda pemudi beserta beberapa puluh warga desa lainnya sedang beramai-ramai menyalakan petasan-petasan yang diantaranya memiliki ukuran jumbo.
Empat ujung jalan sengaja dijaga oleh warga untuk mengantisipasi para pemakai jalan lain agar menunggu saat-saat yang tepat untuk lewat, namun yang terjadi para pemakai jalan yang berniat lewat dilokasi kejadian justru ikut melebur diri dalam kerumunan sehingga lokasi terlihat sangat ramai.
Mereka menyadari bahwa menyalakan petasan bisa berbahaya, menyalakan memiliki resiko yang tinggi terlebih apabila ukuran petasan juga tidak kecil, tapi ini adalah tradisi dimana mereka bisa merasakan bahwa mereka benar-benar sedang merayakan Hari Raya Idul Fitri.
Harapan kami adalah jadikan hal ini tetap menjadi sebuah tradisi yang suka atau tidak suka memang sudah diwariskan, sebuah kenyataan yang kadang membuat pihak-pihak tertentu harus sulit mengambil keputusan.