Jika rumput di halaman tetangga selalu tampak lebih hijau, maka
tugas setiap orang semestinya adalah merawat dan menjaga agar rumput di
halaman rumahnya tetap terlihat hijau di mata tetangga. Sayangnya,
keberhasilan orang lain kadang begitu mudah membuat orang silau sehingga
berusaha meniru dan meraih keberhasilan serupa tanpa menyadari bahwa
potensi sendiri yang sebenarnya tak kalah berharganya justru menjadi
terlantar karenanya.
Minggu pagi, 6 Juni 2010 lalu, kami komunitas Opoto (Onthel Potorono)
ikut memeriahkan acara bersepeda disekitar kawasan Pasar Perjuangan Srowolan, tepatnya diDusun Srowolan Desa Purwobinangun, Kec. Pakem Kab. Sleman, Yogyakarta. Acara yang difasilitasi Dinas
Pariwisata DIY ini melibatkan 500-an pesepeda dari berbagai komunitas
sepeda, termasuk Opoto.
Sepagi itu, setelah menyusuri jalan lingkar, kami menuju ke utara
lewat jalan Kaliurang dan berbelok ke jalan Monjali. Kawasan Jogja utara
yang kami lewati benar-benar sudah berbenah. Jalanan begitu ramai oleh
kepadatan kendaraan, sementara di kanan-kiri jalanan penuh dengan ruko,
outlet, kafe hingga resto dengan nama-nama mentereng –sebagian besar
berbahasa asing– menghiasi papan nama mereka.
Suasana asri dan membumi baru kami rasakan setelah di kilometer 14,
tepatnya di perempatan SLB Dusun Balong Desa Donoharjo Kec. Ngaglik Kab. Sleman kami berbelok ke barat menuju dusun
Sorowulan, atau yang di lidah masyarakat sekitar biasa disebut Srowolan.
Konon, di dusun ini dahulu tinggal seorang empu yang terkenal karena
kebiasaannya membuat keris pada setiap bulan purnama. Nama Empu Suro
inilah yang kemudian diabadikan menjadi nama dusun Surowulan yang
kemudian terlafalkan menjadi Sorowulan, bahkan Srowolan.
Lesung batu peninggalan Empu Suro |
Ketika kami sampai di sudut pasar Srowolan, di bawah naungan sebuah
pohon beringin besar kami melihat sebuah monumen berupa lesung batu. Di
lesung batu itulah dahulu Empu Suro biasa mencelupkan keris yang sedang
dibuatnya.
Pasar tradisional Sorowulan yang juga disebut Pasar Perjuangan Kasultanan ini pun adalah sebuah pasar bersejarah. Pada puncak kejayaannya, pasar yang didirikan pada tahun 1921 ini merupakan pasar terbesar kedua setelah pasar Ngasem. Di tengah keramaian pasar ini, dahulu para mata-mata pejuang Indonesia biasa berbaur dan bertukar informasi. Keluasan area pasar ini juga telah memungkinkan menjadi tempat persinggahan pasukan Siliwangi pada peristiwa hijrah Madiun. Kini, upaya mengembalikan fungsi dan keramaian pasar Sorowulan tengah dirintis kembali.
Apa yang kemudian kami saksikan pagi itu tak ubahnya sebuah
rekontruksi zaman. Tak jauh dari panggung di sebelah monumen lesung batu
itu sekelompok kanak-kanak bermain jathilan. Irama tabuhannya
bertalu-talu seolah mengundang seluruh warga dusun untuk berkumpul.
Sementara setelah para peserta sepeda wisata berdatangan, pasar itu
segera dihidupkan oleh ramainya transaksi antara pembeli dan penjual
sarapan, teh panas, serta aneka jajanan.
Sesaat kemudian, beratus-ratus pesepeda itu memulai perjalanan bersepeda dari sekitar area outbond
Banyusumilir. Meskipun udara terasa sejuk dan segar, tetapi perjalanan
melewati jalanan kampung di tepi perkebunan salak yang penuh tanjakan
telah membuat peluh kami bercucuran. Untunglah kesegaran suasana yang
ada terus menggairahkan semangat para peserta.
Terlebih ketika kami sampai di pos perhentian yang asri di kawasan
Kembang Arum. Sungainya yang jernih dengan bangunan joglo yang terawat,
serta kolam-kolam di antara tetumbuhan membuat para peserta terlihat
betah. Mereka melepas lelah dan dahaga sambil tak lupa berfoto bersama.
Para Opoters ada di antara mereka.
Separo perjalanan berikutnya merupakan rute yang memanjakan kaki kami.
Jalanan terus menurun hingga tanpa terasa kami sudah kembali memasuki
dusun Sorowulan.
Kami segera berkumpul di sekitar panggung menikmati konsumsi yang disediakan sambil menyaksikan pertunjukan jathilan dengan berbagai atraksinya yang menegangkan, sebelum acara seru yang juga ditunggu-tunggu tiba: pengundian doorprize.
Pembagian doorprize pun berjalan lancar tanpa
berlarut-larut. Acara usai. Para peserta satu per satu pulang dengan
wajah ceria sambil menjinjing beberapa makanan sebagai oleh-oleh,
seperti jadah ketan, arem-arem, carang gesing, tempe serta tahu bacem,
wajik ketan manis, dan tentu saja buah salak pondoh dari kebun setempat.
Sementara itu, karena masih ingin menikmati suasana desa, kami mengayuh sepeda perlahan menuju area outbond
Banyusumilir. Di sana kami bertemu dengan beberapa panitia dan Pak
Dukuh. Kami sempat berbincang tentang dusun Sorowulan, Kadilobo, dan
Karanggeneng sebagai kawasan yang masih alami sehingga menyimpan potensi
wisata yang saat ini begitu diminati. Apa lagi kawasan ini pernah
menjadi bagian penting dari sejarah perjuangan bangsa. Sayuti Melik yang
dikenal sebagai tokoh yang ikut berperan dalam penyiapan naskah
proklamasi kemerdekaan RI adalah pemuda kelahiran dusun Kadilobo. Yang
perlu dilakukan oleh kawasan ini adalah menjadi diri sendiri,
mempertahankan keasrian alami, melestarikan warisan budaya tradisi yang
penuh kearifan lokal sehingga menjadi pengobat dahaga bagi orang-orang
yang mengunjunginya.
Kami juga sempat berkeliling melihat ada banyak tujuan wisata baru
yang bermunculan di kawasan ini. Mereka menawarkan menu wisata yang
hampir mirip satu sama lain: outbond berbasis pendidikan, bumi
perkemahan, arena pemancingan, dan tempat makan. Beberapa seperti di
Kembang Arum bahkan sudah dilengkapi dengan rumah tinggal.
Cara berpikir kami yang sederhana segera memunculkan sebuah
pertanyaan, bagaimana kalau semua potensi yang ada ini dikelola bersama
menjadi sebuah kawasan desa wisata yang terintegrasi? Misalnya untuk
seluruh kegiatan outbond dipusatkan di satu area tersendiri,
begitu juga dengan wisata air, penginapan, kebun salak, resto, dan pusat
oleh-oleh serta cenderamata. Dengan demikian, tempat ini akan menjadi
tempat tujuan wisata berskala besar yang sanggup menampung wisatawan
dalam jumlah banyak.
Persaingan barangkali akan menempa kita menjadi kuat. Akan tetapi,
ada kalanya untuk meraih sebuah kemenangan kita justru harus berhenti
bersaing agar dapat saling berkolaborasi, menciptakan sinergi yang lebih
berdayaguna demi kesejahteraan bersama.
Siang itu, hingga tiba saat pamitan, kami tidak menikmati semangkuk
soto. Hanya saja, tangan kami sekarang menjinjing jadah tempe dan
beberapa kilo salak pondoh yang manis untuk keluarga di rumah.
0 comments:
Post a Comment